Di mata Djarot B. Darsono, Indonesia adalah negara kaya. Tak hanya alamnya saja, Indonesia juga dilimpahi bermacam suku, agama, ras, dan kebudayaan. Hidup dalam keberagaman sudah menjadi santapan sehari-hari bagi masyarakat di negara ini.
Seiring waktu berjalan, keberagaman itu semakin meluas. Manusia-manusia Indonesia dihadapkan pada perkembangan zaman, yang menyuguhkan beragam pola pemikiran. Di situlah Djarot merasa cemas. Seniman kawakan itu khawatir jikalau masyarakat Indonesia tidak bisa memilah apa-apa saja yang dibawa dalam era modern.
Sebagai seorang seniman, Djarot menyampaikan kecemasannya itu dalam sebuah pementasan teater tari berjudul Angon Angin, yang dipertunjukkan di Bentara Budaya Balai Soedjatmoko, Solo, Selasa (12/4/2016) malam.
“Aku merasa gundah, merasa haus akan sesuatu yang dekat,” ucap salah seorang penari. Ketujuh penari yang mengenakan kostum basahan batik melenggak-lenggok halus di atas panggung. Dialog-dialog tersirat yang penuh pertanyaan terhadap diri sendiri dan lingkungan, terucap dari bibir mereka.
Sebatang lidi yang pemain genggam, berulang kali dilecutkan ke udara. Tak hanya sebagai properti, lidi juga difungsikan menjadi alat musik. Suara desiran lidi saat membelah udara, mengiringi gerak tubuh ketujuh penari. Itulah cara Djarot untuk menghadirkan angin dalam pementasannya.
Dalam pertujukan tersebut, gerakan-gerakan para penari diambil dari vocabulary Tari Bedhaya. Berbeda dari biasanya, Tari Bedhaya ala Djarot diberi sentuhan modern. Djarot menghilangkan unsur musik gamelan konvensional. Ia menggantinya dengan musik digital yang memperdengarkan aneka suasana. Dipadukan dengan teater juga jadi cara Djarot untuk membawa Tari Bedhaya ke zaman modern.
Persinggungan nilai tradisional dan modern terjadi di akhir lakon Angon Angin. Kecanduannya manusia zaman sekarang terhadap gadget, tak luput dari sorotan Djarot. Puluhan pemuda-pemudi yang memakai busana kekinian, berada satu panggung dengan para penari Bedhaya. Sembari menggenggam bendera Indonesia, mereka melakukan eksplorasi ruang sambil menatap layar ponsel pintar.
Kondisi yang terjadi saat itu adalah: tujuh lawan puluhan. Tari Bedhaya yang menyimbolkan ketradisionalan, terapit oleh hal-hal berbau modern. Di tengah sempitnya ruang gerak, para penari mencoba muncul lagi ke depan panggung guna menyibakkan udara untuk sekali lagi.
Ditemui usai pentas, Djarot menuturkan, angin versi Angon Angin merupakan sebuah metafora dari bentuk kapitalisme, globalisme, maupun modernitas. Menurut Djarot, hal yang sebaiknya dilakukan masyarakat Indonesia dalam menyambut hal-hal di atas adalah dengan mempersiapkan diri.
“Kemunculan hal-hal itu adalah sebuah realitas. Kita harus legawa, karena ini adalah wujud perkembangan zaman. Kita tidak bisa menolaknya. Yang bisa dilakukan adalah dengan angon angin. Kita ‘menggembalakan’, mencermati dan memahaminya. Kalau bisa memahami, kita bisa selamat dan bahagia,” kata Djarot.