Soloevent.id – Suka nonton Solo International Performing Arts (SIPA)? Di balik layarnya, berdiri seorang perempuan bernama Irawati Kusumorasri sebagai Direktur. Sejak kecil, Ira begitu lekat dengan kesenian dan kebudayaan Jawa. Dua hal itu terus mengalir dalam tubuhnya. Pemahamannya mengenai kesenian dan kebudayaan Jawa jadi salah satu faktor yang menobatkannya menjadi Putri Solo pertama.
Itu terjadi pada 1986 saat Ira berumur 23 tahun. “Saya beruntung. Padahal banyak finalis yang berpostur lebih tinggi. Waktu itu, tinggi badan saya kurang dari 160 sentimeter. Tapi saya pede aja. Mungkin pengetahuan saya lebih banyak. Ditambah lagi jurinya bukan hanya mementingkan tinggi badan dan penampilan, melainkan keselurahan termasuk pengetahuan,” kenang Ira saat ditemui Soloevent di rumahnya, Rabu (31/7/2019).
Apalagi kala SMA, Ira punya modal pernah melenggang sebagai finalis di Pemilihan Puteri Remaja Indonesia yang diselenggarakan majalah Gadis pada 1981. “Saya sudah berpengalaman mengikuti lomba semacam itu,” lanjutnya.
Saat pendaftaran Putra Putri Solo dibuka, Ira tertarik mengikuti. Dia minta pendapat kepada orang tuanya dan langsung direstui. Ira menuturkan bapak dan ibunya senang ia mengikuti acara semacam itu karena bisa menggembleng karakternya dan melatih kepercayaan diri saat di pangung. “Latar belakang saya penari Jawa, dari kecil saya mulai menari di Mangkunegaran. Hanya saja saat menari, kan, tidak bicara, dengan ikut pemilihan saya harus bicara. Itu melatih saya bicara dengan orang lain dan di publik,” terangnya.
Sebelum terjun ke medan laga, Ira berusaha keras mematangkan dirinya, mulai dari belajar adat istiadat Jawa, pariwisata Kota Solo, etika, tata cara berbusana, dan-lain. Saat menjalani tes wawancara, penguji mencecarnya dengan beragam pertanyaan. Untungnya, Ira sudah membawa bekal, sehingga lolos.
Proses Pemilihan Putra Putri Solo waktu itu tak berbeda jauh dengan sekarang. Bedanya, dulu tidak ada karantina. “Finalnya juga hampir sama. Kami muncul berbarengan. Lalu ada tes khusus dengan mengambil pertanyaan,” ungkap Ira.
Perempuan kelahiran 12 Desember 1963 itu merasa luar biasa bisa menyandang gelar Putri Solo. Meski itu berlangsung puluhan tahun lalu, tapi Ira tetap merasa punya tanggung jawab moral sebagai Putri Solo. “Apa yang bisa saya beri untuk kota saya?” ucapnya.
Lewat kesenian dan budaya, Ira ingin mewujudkan pertanyaan di atas. Tahun 1998 ia mendirikan sanggar Semarak Candra Kirana. Lalu mulai 2009 hingga sekarang, Ira rutin menggelar SIPA. “Yang bisa saya lakukan di bidang budaya. Dari situ saya memberikan apa yang saya bisa ke Kota Solo,” ujarnya.