Soloevent.id – “Menggambar jadi alat persahabatan bagi saya,” kata Sigit Santosa. Perupa kelahiran Solo, 25 Oktober 1950 itu selalu membawa peralatan perangnya yang sederhana: kuas, tinta watercolor, dan kertas ke mana pun ia melangkah.
Apabila dia menemukan orang-orang dengan wajah berkarakter, ia tak sungkan menghampiri dan kemudian membikin sketsa wajahnya. Mayoritas wajah yang ia sketsa adalah perempuan. Laki-laki juga ada, asalkan wajahnya punya karakter. “Pria yang tidak berkarakter tidak enak digambar. Kalau wanita selalu menyenangkan untuk digambar,” terangnya, Rabu (17/1/2018).
Dalam sehari, Sigit menuturkan, ada ribuan wajah yang ia amati. Jika ada yang klop, ia segera memulai “ritual”. Yang kerap kali menjadi obyek gambar adalah mahasiswinya. Berkarya setiap hari dilakukannya untuk mendisiplinkan diri sebagai seniman.
Jika ingin melihat seperti apa karya Sigit Santosa, bisa berkunjung ke Bentara Budaya Balai Soedjatmoko, 17-23 Januari 2018. Dalam pameran tunggal bertajuk High Dreams of A Teacher itu ada 59 guratan tangan Sigit.
Paras-paras ayu mahasiswi maupun orang-orang yang Sigit lukis mempercantik ruang pamer Bentara Budaya Balai Soedjatmoko. Wajah-wajah itu menampilkan senyum, merenung, atau menatap kosong.
Salah satu sketsa wajah yang dipajang adalah milik Veronica Tan, istri Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Vero-lah yang membuka pameran tunggal Sigit di Bentara Budaya Jakarta, 27 Agustus 2015 silam. Usut punya usut, putri Ahok ternyata berguru melukis kepada Sigit. “Saya mensketsa Bu Vero dari foto,” jelas dia.
Lewat sketsa, persahabatannya dengan Romo Mudji Sutrisno (budayawan) juga bertambah lekat. “Saya deg-degan saat membuat sketsanya,” ucap Sigit sambil tersenyum.
Selain sketsa wajah, seniman sekaligus dosen di Sekolah Tinggi Desain Interstudi dan Politeknik Negeri Media Kreatif ini juga membingkai rupa kota dalam sketsa. Kecintaannya terhadap kota tumpah darahya, Solo, dicuplikkan lewat sketsa Pasar Gede. Di pameran ini ia juga menampilkan aktivitas di pelabuhan Sunda Kelapa. “Saya sangat tertarik dengan bangunan. Itu membuat saya terenyuh,” ujarnya.
Di usia yang ke-67, Sigit menikmati prosesnya sebagai perupa. Baginya momen ketika menggoreskan kuas adalah hal yang menyenangkan. Tidak hanya bagi dirinya, tapi juga orang lain. Karena dalam hidupnya, Sigit memegang satu falsafah Jawa yang jika diartikan berarti “Ciptakanlah karya yang bisa menimbulkan rasa senang bagi orang lain”.
Penulis: Reza Kurnia Darmawan
Foto: Reza Kurnia Darmawan