Red Batik Solo akan turut berpartisipasi dalam gelaran budaya, Semarang Night Carnival 2016, yang diselenggarakan 7 Mei mendatang di Kota Lama, Semarang. Komunitas kreatif ini bakal menjadi konseptor dan instruktur di event tersebut.
Untuk mengasah keterampilan para peserta dalam berkarya, Red Batik Solo membikin lima kostum anyar yang diberi judul Fantasi Warag Ngendog. Sesuai namanya, kostum kreasi itu terinspirasi dari hewan mitologi, Warag Ngendog. Hewan itu tersusun dari tiga bagian binatang yaitu naga (kepala), buraq (badan), dan kambing (kaki).
Menurut Direktur Program Red Batik Solo, Heru Prasetya, dipilihnya Warag Ngendog sebagai inspirasi kostum karena binatang itu menyimbolkan akulturasi dari tiga budaya. “Naga mewakili etnis Tionghoa, buraq mewakili etnis Arab, sedangkan kambing mewakili etnis Jawa,” tutur saat dijumpai di sela sesi pemotretan Fantasi Warag Ngendog di Omah Sinten, Selasa (23/2/2016).
Seperti karya-karyanya terdahulu, Fantasi Warag Ngendog masih dibuat menggunakan bahan-bahan alami, seperti rotan, bambu, anyaman pandan, biji-bijian, dan lainnya. Kostum kreasi ini juga dibuat dari aneka tali alami seperti tali enceng, agel, akar wangi, dan rami.
Selain menonjolkan tiga warna dominan – merah, kuning, hijau, beberapa bagian tubuh hewan mitologi itu dicuplikkan dalam karya tersebut. “Kepala Warag Ngendog, kami tuangkan dalam bentuk mahkota. Sedangkan giginya, kami wujudkan dalam potongan berbentuk kubisme. Ada juga kostum berbahan bambu yang kami kreasi mirip sisik,” jelas Instruktur Kreator Kostum Red Batik Solo, Muhammad Arif Wibowo.
Empat kostum wanita dipermanis dengan ornamen bunga yang terbuat dari bambu. Sedangkan untuk memberi kesan gagah, satu kostum pria ditambahi properti tongkat. “Kostum cowok lebih dibuat minimalis, simple, tapi mengena,” ujar Arif.
Supaya ornamen bunga terlihat detail, para perancang kostum menambahkan unsur biji-bijian. Biji-bijian yang dipakai antara lain suren, mindi, kacang koro, jali, dan saga. Karena biji-bijian itu hanya bisa didapatkan di musim-musim tertentu, kadang kala menjadi kendala mereka dalam mengeksplorasi.
“Biji-bijian itu kami dapatkan dari pasar tradisional. Selain di Pasar Gede [Solo], kami kadang-kadang mencarinya hingga Pasar Beringharjo [Yogyakarta]. Sebenarnya di swalayan ada yang menjual, tapi harganya lebih mahal,” beber Arif.
Selain untuk memperindah, biji-bijian itu ternyata juga punya kandungan filosofi. “Contohnya biji saga. Sejauh yang saya pelajari, saga melambangkan atmosfer keberanian,” ungkapnya. Penggunaan bahan alami dalam karya ini juga punya maksud tertentu. “Kami ingin membuka cakrawala kreatif para perancang muda. Di samping itu, mereka juga kami ingatkan agar tidak melupakan khazanah lokal yang dimiliki bangsa ini,” katanya.