Tembang “Prau Layar” mengalun dari Jl. Slamet Riyadi, Solo. Lagu ciptaan Ki Narto Sabdo itu dimainkan di Solo Karnaval 2016, Minggu (21/2/2016) menggunakan alat musik calung dan sejumlah perkusi. Solo Karnaval adalah acara tahunan yang digelar untuk menyemarakkan hari jadi Kota Solo. 50-an personel Red Batik Solo Community berlenggak-lenggok mengikuti irama tembang tersebut.
Red Batik Solo Community adalah salah satu dari 28 kelompok yang turut menyemarakkan gelaran Solo Karnaval 2016. Sepanjang Loji Gandrung hingga Jl. Jenderal Sudirman, para peserta menampilkan street performance. Penonton yang memadati area karnaval tak hanya dihibur dengan tarian jalanan. Mereka juga disuguhi eksplorasi kostum yang terbuat dari kain batik.
Mengangkat tema “Batik is My Life”, Solo Karnaval ingin menghadirkan nuansa karnaval yang beda dari karnaval-karnaval lainnya. Di edisi ini, peserta diwajibkan menggabungkan kreasi kain batik dengan atraksi jalanan.
Pimpinan Produksi Solo Karnaval 2016, Fafa Utami, menyebutkan, diangkatnya batik sebagai ikon di event ini bukan jadi kelatahan ataupun hal klise. “Ini telah didasari pada riset, bahwa batik sangat berpengaruh ke seni pertunjukan,” ungkapnya. Fafa menambahkan, motif kain batik yang dipakai, disesuaikan dengan konsep pertunjukan masing-masing kelompok.
Beragamnya kain batik yang dikenakan para peserta Solo Karnaval, lanjut Fafa, dimungkinkan jadi sarana edukasi bagi masyarakat. “Motif batik yang ditampilkan di event ini berasal dari seluruh Indonesia. Ada lasem, jumputan, Pekalongan, dan lainnya,” jelas dia.
Direktur Artistik Red Batik Solo Community, Bambang Besur, menjelaskan, di Solo Karnval 2016, komunitasnya memakai kain batik jumputan klasik. Warnanya yang cerah jadi alasan pemilihannya. “Untuk menunjang konsep artistik, kami mengombinasikan kain batik jumputan dengan kutu baru dan kebaya,” urainya.