Masjid Agung Surakarta, Jumat, 18 Juli 2014. Setelah kurang lebih satu jam menunggu, sekitar pukul 21.00 WIB, rombongan kirab yang dinanti akhirnya tiba. Dari kejauhan sudah terdengar suara drum band khas prajurit Keraton Surakarta. Sejurus kemudian rombongan itu satu per satu memasuki gapura Masjid Agung.
Dimulai dari para prajurit bregada, disusul kemudian oleh para sentana yang memakai beskap putih dan kain jarit, lalu di belakang mereka beriringan abdi dalem Pakasa (Paguyuban Kaluwarga Keraton Surakarta yang membawa lampu ting serta ada pula yang memikul kotak cokelat berisi tumpeng yang nantinya akan dibagikan kepada masyarakat.
Setelah memasuki serambi Masjid Agung, rombongan kemudian duduk bersila. Nasi tumpeng dalam kotak kemudian dikeluarkan dan ditaruh di atas meja. Ada pula nasi yang masih ditinggal di dalam kotak karena jumlahnya yang mencapai angka seribu. Lalu nasi tumpeng mini yang berbungkus plastik warna putih itu didoakan bersama-sama, dipimpin oleh perwakilan dari Masjid Agung Surakarta.
Ya, tiga paragraf di atas merupakan penggambaran dari prosesi kirab Malem Selikuran yang diadakan oleh Keraton Surakarta. Kirab tersebut dilangsungkan dalam rangka memperingati turunnya Lailatul Qadar yang dipercaya turun pada malam ganjil di Bulan Ramadhan, dimulai dari tanggal 21.
Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Surakarta, KP Winarno Kusumo, menerangkan bahwa prosesi tersebut merupakan napak tilas dari perjalanan Nabi Muhammad SAW yang mendapatkan wahyu di Jabal Nur pada malam 21 Ramadhan. Setelah mendapatkan wahyu, nabi kemudian turun. Ia disambut oleh para sahabatnya yang membawa obor. “Sehingga perjalanan pulang ke kediaman nabi, suasananya seperti siang hari,” kata Winarno menerangkan dari mana asal muasal lampu ting itu.
Winarno menambahkan, nasi tumpeng berjumlah seribu merupakan simbol dari anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang diberikan kepada umat Islam, yang mana nilai keutamaannya melebihi dari seribu bulan, “Umat Islam yang mampu berbuat amal kebaikan akan mendapatkan ganjaran seribu kali lipat, dalam arti akan mendapatkan pencerahan atau padhang bagaikan terangnya seribu bulan,” jelasnya.
Peristiwa itulah yang kemudian mengilhami para wali pada era Kerajaan Demak untuk membuat acara Malem Selikuran. Dulu para wali memusatkan acara di Masjid Agung Demak. Dari tradisi itulah yang kemudian membuat Keraton Surakarta selama tiga tahun belakangan ini, memusatkan kembali acara tersebut di Masjid Agung Surakarta, setelah pada beberapa tahun yang lalu dilangsungkan di Sriwedari.
Menurut Winarno, Malem Selikuran Keraton Surakarta yang ditandai dengan pembagian seribu nasi tumpeng merupakan sebuah bentuk kepedulian kepada masyarakat. “Serta merupakan bentuk manunggaling kawula Gusti,” pungkasnya.