Soloevent.id – Tanggal 30 Maret tiap tahunnya diperingati sebagai Hari Film Nasional (HFN). Bagaimana, sih, sejarahnya? Dikutip dari beberapa artikel online, pada 30 Maret 1950, film Darah & Doa (Long March of Siliwangi) yang disutradarai Usmar Ismail melakukan pengambilan gambar pertama kali. Film ini dinilai sebagai film lokal pertama yang mengusung ciri Indonesia. Selain itu, film ini merupakan film pertama yang disutradarai orang Indonesia dan diproduksi oleh perusahaan film Indonesia, Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI). Usmar Ismail merupakan pendiri PERFINI.
Penetapan 30 Maret sebagai Hari Film Nasional dilakukan pada konferensi Dewan Film Nasional dengan Organisasi Perfilman pada 11 Oktober 1962. Keputusan ini lalu diperkuat dengan terbitnya Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres RI) Nomor 25 Tahun 1999 tentang Hari Film Nasional di era Presiden B.J. Habibie.
Jauh sebelum Darah & Doa, Indonesia prakemerdekaan sudah mengenal dunia perfilman sejak berdirinya bioskop pertama, yang berlokasi di Tanah Abang, Batavia, pada 5 Desember 1900. Teater Gambar tersebut menayangkan berbagai film bisu.
Lebih dari dua dekade setelahnya, pada 1926 film lokal pertama berjudul Loetoeng Kasaroeng dirilis. Film bisu ini disutradarai oleh sutradara Belanda, G. Kruger dan L. Hueveldorp. Kemudian, di 1928, pekerja film dari Shanghai datang ke Indonesia untuk menggarap film Lily Van Shanghai. Meski menggunakan banyak aktor lokal, film-film pada masa itu mencerminkan dominasi Belanda dan Cina.
Ketika Jepang menjajah Indonesia pada era 1940-an, perfilman menjadi alat propaganda politik Jepang selama sekitar tujuh tahun. Pada masa ini, film Indonesia tidak memiliki izin produksi. Pasalnya, hanya film politik Jepang dan film Indonesia lama yang diperbolehkan tayang.
Masa kebangkitan film Indonesia dimulai sejak era ’50-an. Pada 1951 diresmikan pula Metropole, bioskop termegah dan terbesar pada saat itu. Empat tahun berselang terbentuklah Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI). Saat itu, selain PFN (Produksi Film Negara) yang dimiliki oleh negara, terdapat dua perusahaan perfilman terbesar di Indonesia, yaitu PERFINI Dan PERSARI (Perseroan Artis Indoensia, dipimpin oleh Djamaluddin Malik).