Soloevent.id – Ada kegelisahan di diri Sito Fossy Biosa. Sebagai orang yang lahir dan besar di Probolinggo, ia merasa cemas terhadap permasalahan lingkungan yang menerpa salah satu kekayaan alam Probolinggo, Gili Ketapang. Dahulu, Fossy remaja sering main ke sana. Ia dibuat kagum oleh kecantikan Gili Ketapang. Namun, keindahan tersebut luntur, berganti dengan tumpukan sampah.
Keresahan Fossy tersebut ia wujudkan dalam film dokumenter berjudul “Wayang Sampah Laut”. Film itu diputar berdampingan dengan film dokumenter “It’s a Beautiful Day” karya Tonny Trimarsanto dalam acara Roadshow Solo Documentary Film Festival di Cangwit Creative Space, Sabtu (12/3/2016) lalu.
Dentingan piano menjadi backsound sejumlah beauty shot seperti pasir putih dan laut biru yang terhampar di Gili Ketapang. Akan tetapi pemandangan itu hanya tersaji di dua menit awal. Menit-menit setelahnya, Fossy menyuguhkan keironisan lewat seorang anak kecil yang berenang di tengah puing-puing sampah dan seekor kambing yang mencari makan di atas gundukan sampah.
Saat ditemui Soloevent, Fossy menuturkan bahwa keindahan Gili Ketapang dirusak oleh masyarakatnya sendiri. “Pantai seindah itu akhirnya jadi tempat pembuangan akhir sampah. Soalnya masyarakat di sana masih primitif. Ketika pemerintah ingin memajukan Gili Ketapang, mereka menolaknya karena berpikir pemerintah mau merusak alam. Tapi ternyata mereka malah membuang sampah langsung ke laut,” kata dia.
Sineas jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini menambahkan, alasan warga membuang sampah ke laut karena menganggap sampah-sampah itu bisa menjadi makanan ikan. “Gili Ketapang itu pulau kecil dengan jumlah penduduk sekitar 100 kepala keluarga. Semakin tahun, jumlah penduduk semakin meningkat. Pertambahan jumlah manusia tidak diimbangi dengan keinginan untuk merawat lingkungannya,” jelas Fossy.
Lewat “Wayang Sampah Laut”, Fossy ingin menyindir kebiasaan masyarakat Indonesia yang kadang apatis terhadap lingkungannya. Mengusung tagline “Paradigma Sampah”, Fossy membebaskan reaksi penonton pasca menonton filmnya. “Kalau penonton menganggap itu sebagai hal biasa saja, ya sudah biarkan saja. Tapi kalau mereka merasa risih dengan visual sampah yang ada di film, tolong dong jangan buang sampah sembarangan,” tandasnya.
Ketua Panitia Solo Documentary Film Festival, Dimas Erdinta, mengungkapkan, Solo Documentary Film Festival ingin memberikan pandangan baru, pemaparan fakta, sekaligus penyadaran kepada masyarakat melalui film “Harapannya supaya penonton tergerak melakukan perubahan ke arah yang lebih baik,” jelasnya.