Dentingan siter, pukulan kendang, dan suara langgam Jawa yang disenandungkan, memenuhi ruangan The Sunan Hotel Solo. Kamis (25/9/2014) sore itu, banyak orang berkumpul di Lobby Area hotel setempat. Mereka mengelilingi meja-meja yang telah ditata. Berpindah dari satu meja, ke meja lainnya, untuk mencicipi makanan yang disajikan, atau sekedar bercakap-cakap dengan si penjaja.
Hari itu, hingga Sabtu (27/9/2014), hotel berbintang empat tersebut sedang menggelar hajatan berupa Traditional Dessert Festival. Acara itu dihelat guna memperkenalkan jajanan Solo, dan membangun kecintaan terhadap warisan kuliner lawas Kota Bengawan, yang akhir-akhir ini sudah jarang ditemui. Sebanyak 16 penjual jajanan tradisional, diundang langsung oleh pihak hotel.
Bagi generasi sekarang, mungkin terasa asing mendengar nama “arum manis blek ndeso”. Makanan yang terbuat dari butiran gula, dan menyerupai rambut ketika sudah diolah ini, terbilang langka peredarannya. Salah satu pedagang yang masih eksis hingga kini, Mudadi, 54, mengaku telah berjualan penganan itu sejak 1978. Pria asal Delanggu ini, dalam menjajakan dagangannya, selalu mengayuh sepeda onthel.
Ia biasanya menyambagi beberapa Sekolah Dasar (SD) dan kampung-kampung di Solo. Ia mulai menjajakan jualannya dari jam 06.00 sampai 16.00 WIB. Ketika disinggung kenapa memilih berdagang arum manis, dan tidak ingin beralih ke profesi lain, ia menjawab, “Ya soalnya [mendapatkan] rezekinya yang laku itu.” Dalam Traditional Dessert Festival, setangkup arum manis, ia jual seharga Rp 2.000,00.