Soloevent.id – Siapa bilang musik balada lagu-lagunya hanya bernuansa romansa? Bagi musisi seperti Guntur T. Cunong dan Benang Merah, mereka tahu bahwa kata adalah peluru. Musik balada yang mereka mainkan adalah katarsis sekaligus senapan, dan lirik-lirik “bengal” yang mereka nyanyikan adalah peluru yang siap ditembakkan .
Protes. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan lagu-lagu mereka. Protes yang kebanyakan ditujukan kepada negara karena ketidakberpihakannya, atau sikap intoleransi beberapa oknum yang mengatasnamakan agama, merupakan point of view di setiap lagu-lagu mereka.
Musik adalah bahasa universal. Melalui musik, mereka meluapkan kemarahannya. Dan pada Minggu, 30 Juni 2014, kemarahan itu tercermin dalam acara bertajuk Balada Balada. Acara yang diinisiasi oleh Rumah Balada Indonesia itu berlangsung di Balai Soedjatmoko, diselenggarakan tiap minggu kelima. Selain kedua musisi tadi, juga hadir Harmoni Amourest dari Karanganyar yang didapuk sebagai opener. Mereka membawakan empat lagu. Di lagu terakhirnya yang berjudul “Goresan TintaNya”, band yang akan merilis album perdana pada Agustus mendatang, berharap agar orang-orang bisa menebar kedamaian di antara sesama, tanpa memandang suku, agama, ras yang melekat di pribadi orang tersebut.
Guntur T. Cunong merupakan penampil kedua malam itu. Sebelum memulai perform-nya, dia sempat berujar, “Jika jalanan baik, maka bangsa baik.” Maka mengalunlah “Hajar Indonesia” dengan lirik “…Pesta kematian menyala benderang. Genderang perang irama merdu. Tarian manusia dengan senjata iringi cerita semarakkan hitam…” Mendengarkan Guntur T. Cunong ibarat mendengarkan Kantata Takwa versi solo, dengan lirik yang lebih satir.
Penampil ketiga sekaligus headliner gelaran Balada Balada adalah Benang Merah. Band yang dihuni tujuh orang ini, malam itu menampilkan lima lagu: “Negara Tak Pernah Hadir”, “Sosok Sederhana”, “Kubenci Kain Putihmu”, “Tersenyumlah Tanah Airku”, dan “Biru Langit”. Lagu-lagu berlirik tajam tersebut dibungkus secara ringan dengan unsur balada yang kental, sehingga inti kritik dapat tersampaikan langsung kepada pendengar.
Guntur Narwaya, frontman Benang Merah, menuturkan bahwa lagu-lagu yang mereka buat merupakan respon dari situasi sosial-politik yang akhir-akhir ini terjadi. “Lagu yang pertama [“Negara Tak Pernah Hadir”], lahir dari situasi Rembang; tentang petani, tentang pekerja. Terus lagu baru ‘Kubenci Kain Putihmu’ lahir ketika ada beberapa kasus intoleransi di Jogja,” jelasnya.
Benang Merah merupakan band yang terbentuk di era akhir Orde Baru (Orba), sekitaran tahun ’98-’99. Personelnya merupakan anggota Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Band yang sering mengalami pergantian personel ini, menyisakan Guntur sebagai satu-satu personel asli yang masih bertahan hingga kini.
Di era keterbukaan seperti sekarang ini, di mana akses informasi dan kebebasan berpendapat tidak lagi mendapat halangan; musisi-musisi seperti Harmoni Amourest, Guntur T. Cunong, Benang Merah memegang peranan penting sebagai lembaga kritik, pun sebagai representasi dari suara rakyat. Hendaknya pihak-pihak yang dikritik tidak memerah kupingnya dan antipati terhadap kritik, justru hendaknya berlegawa. Karena bangsa yang baik adalah bangsa yang mau menerima kritik.