Sumi dengan sigap membolak-balikkan opak angin di anglo. Dengan alat penjepit, perempuan berusia 63 tahun ini memanggang adonan opak angin supaya matang dan mengeras. Adonan opak angin ia panggang satu per satu. Setelah matang, ia menaruhnya di atas tampah, dan kemudian membungkusnya. Satu bungkus opak angin dihargai Rp 5.000,00.
Saat Soloevent mencicipi, opak angin rasanya manis. Rasanya sama seperti dulu ketika jajanan ini masih populer. Ya, dulu. Kini penjual kuliner tradisional tersebut jarang ditemui. Mungkin karena kemajuan zaman dan tidak adanya pelestari, membuat opak angin tersisih.
Hal itu diakui Sumi. “Anak-anak saya tidak mau meneruskan. Ya tinggal saya saja,” tuturnya saat ditemui Soloevent di The Sunan Hotel Solo dalam acara Traditional Culinary Festival, Senin (7/12/2015).
Walaupun pelestari opak angin sedikit, tetapi wanita yang berjualan opak angin dari tahun 1969 ini mengaku peminat penganan yang terbuat dari ketan tersebut masih banyak. “Saya jualannya di Coyudan. Pelanggan saya biasanya para jemaat gereja. Kalau Idul Fitri, pesenannya bisa tambah banyak,” ungkapnya.
Meskipun menjajakan makanan tradisional, tetapi Sumi punya strategi untuk menggaet konsumen lebih banyak. Setiap pembeli, pasti selalu ia beri kartu namanya. “Saya kasih kartu nama supaya pembeli bisa pesen. Siapa tahu pesennya banyak,” kata dia.
Nah, jika kamu pengen merasakan opak angin buatan Sumi, bisa mampir di daerah Coyudan — tepatnya di depan Bank Mayapada — pada Sabtu dan Minggu. “Selain hari itu saya libur. Soalnya momong cucu,” terangnya.
Sumi dan 29 penjual kuliner tradisional lainnya, menjajakan dagangannya di event Traditional Culinary Festival. Public Relations Coordinator The Sunan Hotel Solo, Tika Ratna, mengatakan dihelatnya acara itu untuk memeriahkan ulangtahun kedelapan The Sunan Hotel Solo. Sekaligus sebagai pengobat rindu masyarakat Solo terhadap kuliner lokal.