Soloevent.id – Kamu pernah mendengar tradisi nginang di Sekaten? Nginang adalah kegiatan memamah sirih (terdiri dari tembakau, kapur, injet, gambir, dan buah pinang) saat gamelan Sekaten berbunyi. Mayoritas penginang adalah simbah-simbah yang masih memegang teguh tradisi.
Contohnya Selasa (13/11/2018). Para penjual kinang sudah menggelar daganannya di Halaman Masjid Agung Surakarta. Sambil menunggu pembeli, para penjual meracik kinangnya.
Siang itu, Keraton Kasunanan Surakarta bersiap memulai prosesi Ungeling Gamelan Sekaten. Tradisi nginang dilakukan ketika dua gamelan pusaka Keraton Kasunanan Surakarta, Kiai Guntur Sari dan Kiai Guntur Madu, ditabuh sebagai tanda dimulainya perayaan Sekaten.
Kamu mau tahu soal tradisi nginang ini? Simak artikel berikut, ya.
Filosofi nginang dan telur asin
Kinang punya filosofi tentang kehidupan. Saat dikunyah, kinang memiliki enam rasa, yaitu pedas, manis, asam, pahit, asin, dan getir. Keenam rasa tersebut merupakan simbol dari pengalaman hidup manusia.
Kinang selalu ada saat Sekaten. Pengulu Tafsir Anom Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KRT Muhammad Muchtarom, menambahkan, isian kinang yang berjumlah lima menyimbolkan rukun Islam.
Dipercaya membawa berkah
Ada yang percaya nginang saat gamelan Sekaten ditabuh bisa mendatangkan keberkahan, bikin awet muda, mendatangkan rezeki, dan lain-lain. Selain itu dari sisi kesehatan, kinang berkhasiat membuat gigi lebih kuat dan awet.
Nginang dilakukan di hari pertama
Nginang hanya dilakukan di hari pertama perayaan Sekaten. Konon, hari pertama Sekaten membawa berkah.
Meraup rezeki dari kinang
Sekaten kerap dijadikan lahan rezeki bagi sebagian orang, salah satunya pedagang kinang. Penjual kinang bisa ditemui di halaman Masjid Agung Surakarta. Harga kinang 2.000 Rupiah per biji.
Salah satu penjual kinang, Yati, mengaku sudah berjualan selama 11 tahun. “Dulu saya berjualan di Alun-Alun Utara sebelum pindah ke sini. Kebanyakan pembeli ya yang masih percaya dengan tradisi. Bahkan ada pembeli yang datang dari Jakarta,” ucap warga Bekonang, Sukoharjo, itu sambil melayani pembeli.
Tradisi yang enggak tergerus zaman
Tradisi yang menurut KRT Muhammad Muchtarom sudah berlangsung sejak Kerajaan Demak tersebut masih bertahan hingga sekarang.
Salah satu masyarakat Solo yang sering nginang saat Sekaten adalah Mbah Wiji. “Niki kepercaayan, mbak. Kula pun nglakokke niki ket jaman enom. Pendak tahun kulo mriki, tumbas, ngentosi gamelan ditabuh, terus mantuk [Ini kepercayaan, mbak. Saya melakukannya sejak muda. Tiap tahun ke sini, membeli sirih, menunggu gamelan ditabuh, lalu pulang,” ujar warga asal Sumber ini.