Selama malang-melintang di jagad seni pertunjukan, Wayang Buddha tak pernah mati. Mengalami perjalanan dan lika-liku panjang, Wayang Buddha sebenarnya adalah pengembangan dari Wayang Seng karya Hajar Satoto. Bersama Suprapto Suryodarmo dkk, Wayang Seng dipentaskan pertama kali pada 1974 di Sasono Mulya, tapi kurang mendapatkan sambutan meriah dari masyarakat.
Wayang seng bermetamorfosa menjadi Wayang Buddha tatkala mendapatkan tawaran tampil pada peringatan Hari Waisak di Candi Mendut pada 1975. Konsep baru pun tercetus ketika Hajar Satoto mengganti Wayang Seng dengan Wayang Buddha yang mana dalam penggambaran wujud wayangnya, ia mencuplik kisah kelahiran Sidharta Gautama yang terpahat dalam relief Candi Borobudur. Konsep pertunjukan juga diubah dengan menampilkan Puja Darmasurya (dikenal dengan Romo Pujo), seorang pendeta Buddha dari Solo, untuk ikut berpartisipasi dalam pementasan.
Tahun 1978 bisa dikatakan merupakan batu loncatan dan tapakan yang baik bagi Wayang Buddha. Masih menggunakan konsep wayang dan pertunjukan yang sama, pentas tersebut digelar dalam Pekan Penata Tari Muda di Taman Ismail Marzuki (TIM). Terlepas dari polemik yang mencuat terkait pementasan itu, respon masyarakat sangat baik saat itu. Dan bahkan beberapa surat kabar menjadikan Wayang Buddha dalam beritanya.
Dan kini, 36 tahun pasca pementasan di TIM, Wayang Buddha kembali tampil dalam nafas baru. Adalah Dwi “Gendut” Suryanto pencetus gagasan itu. Ia bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Komunitas Dasanama mementaskan Wayang Buddha dengan pendekatan baru pada 23 Juli 2014, bertempat di pelataran Bentara Budaya Balai Soedjatmoko Solo. Pentas ini merupakan penutupan pameran Wayang Buddha bertajuk “Jejak Sejarah Dalam Retrospeksi” yang dilangsungkan 20-24 Juli.
Dalam Kakawin Sutasoma yang ia angkat, ia memadukan beberapa unsur antara lain tari, teater, dan musik. Dalam pementasan itu, konsep artistik yang ia angkat menjadi poin lebih. Selain menampilkan wayang dalam “wujud nyata”, tak ketinggalan pula ia menampilkan wayang dalam “wujud lama” dalam siluet melalui layar putih bundar yang bertindak sebagai background panggung. Menurut Gendut, hadirnya siluet memperkuat jalannya cerita di beberapa adegan yang merupakan gambaran perjalanan Sutasoma
Kain putih yang tadinya hanya teronggok di panggung akhirnya dimainkan. Kain itu digerakkan layaknya ombak yang bergemuruh, seperti mengabarkan gonjang-ganjing akan terjadi, konflik tak bisa dihindarkan lagi. Kain putih tersebut akhirnya dibentangkan. Ia tidak lagi berfungsi sebagai setting simbol, tapi berubah menjadi kelir. Dengan ditembak lampu spot, sosok Purusada muncul dalam bayang-bayang. Purusada inilah yang kelak akan bertempur dengan Sutasoma.
Ditemui usai pentas, Gendut menuturkan bahwa pentas yang ia helat tidak terlalu kompleks jika dibandingkan dengan pentas-pentas Wayang Buddha terdahulu, terutama tahun 2006 di mana ia juga ikut bergabung. Ditanya mengenai apakah Komunitas Dasanama mengadaptasi penuh apa yang pernah dipentaskan oleh senior-senior mereka dulu, Gendut menjawab dengan tidak.
“Teman-teman Komunitas Dasanama tidak ingin meniru bentuk atau gubahan yang pernah senior;senior lakukan. Tapi kami mau meniru proses pencariannya,” ungkapnya. Ia juga menambahkan bahwa pementasan yang ia gelar merupakan penafsiran mereka sendiri terhadap Kakawin Sutasoma. “Sutasoma memberikan ajaran tentang kedamaian, tentang kebaikan yang mana dia akan menuju menjadi seorang biksu,” ia menjelaskan.