“Ada kamar kosong, ndak? Kalo nggak ada berarti akan ada penggerebekan,” seloroh Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Solo, Abdullah Suwarno, menirukan anekdot yang berkembang di masyarakat terkait keberadaan hotel bertaraf melati. Setelah candaannya itu, ia pun menambahkan bahwa hotel melati sekarang telah berkembang, dan sudah memoles diri mereka. Sehingga stigma masyarakat terhadap hotel melati perlu dikaji ulang. Abdullah beserta tiga orang lainnya: Bambang Irawan selaku Dewan Pakar Badan Promosi Pariwisata Indonesia Solo (BPPIS), Dicky Sumarsono selaku Direktur PT Grahamulya Wirastama, dan Endah Sitaresmi selaku Kepala Dinas Tata Ruang Kota Solo; menjadi narasumber dalam acara Forum Bisnis yang digelar di Imperial Taste The Sunan Hotel Solo, Kamis, 18 Juni 2014.
Mengambil tema “ Hotel di Solo: Untung Atau Buntung? ”, Forum Bisnis berusaha mengulas tentang problematika perhotelan yang ada di Kota Solo. Menurut rilis yang diterima soloevent.id, yang merupakan data BPPIS Solo pada Januari 2014, BPPIS mencatat ada peningkatan jumlah hotel berbintang sebesar 180% selama lima tahun terakhir. Dengan pertambahan yang begitu pesat –tercatat ada 4.500 unit kamar, baik itu hotel berbintang maupun melati, tak ayal pertumbuhan hotel bagaikan pisau bermata dua: menambah pendapatan daerah di satu sisi, dan menimbulkan masalah sektoral perkotaan di sisi yang lain.
Solo sebagai Kota Budaya, dengan maraknya event yang diselenggarakan di kota ini, mendapatkan perhatian tinggi dari wisatawan domestik maupun mancanegara. Hal tersebut memacu para pengusaha hotel untuk memasang tarif yang bersaing. Kompetisi menjadi hotel layak tinggalpun tidak dapat lagi dihindarkan. Perang harga sudah menjadi hal umum. Bambang Irawan-pun sempat bercanda bagaimana seandainya para pengusaha mengadakan kongsi untuk memasang tarif harga, tanpa sepengetahuan dinas terkait.
Di dalam kompetisi ini, menurut Dicky, dalam bisnis perhotelan sekarang, tidak ada lagi kategorisasi bintang 1-5. Yang ada hanyalah hotel dengan target market yang jelas, tersedianya jumlah kamar, dan baik-buruknya servis. Sehingga jika tidak mempunyai target pasar yang jelas dan pondasi bisnis yang kuat, maka bisa saja hotel tersebut akan collapse dalam lima tahun. Demi meningkatkan okupansi hotel, inovasi dibutuhkan untuk menjaga bisnis tersebut. Selain pengusaha perhotelan yang memutar otak – dengan mengadakan event yang menangkap momentum, misal Piala Dunia – pemerintahpun juga diminta agar lebih bisa mengulik potensi kearifan lokal untuk dijadikan event. Durasi event-pun juga berpengaruh kepada tingkat okupansi. Disebutkan Bambang, peringatan Malam Satu Sura yang biasanya digelar satu hari, akan lebih menarik perhatian jika diadakan tidak seperti biasanya.
Dengan dijadikannya Solo sebagai destinasi wisata, menyebabkan banyak orang mengalihkan bisnis mereka ke bisnis perhotelan. Menurut Sita (sapaan Endah Sitaresmi), masih ada sepuluh hotel lagi yang akan dibangun di kota Solo. Dikepungnya Solo dengan bangunan-bangunan beton tersebut, kadangkala menjadikan permasalahan baru. Isu lingkungan hidup masih menjadi topik sentral, air tanah misalnya. Kondisi air tanah di Solo memburuk seiring laju pertumbuhan hotel. Yang paling berdampak adalah warga sekitaran hotel, yang tak jarang kesusahan mendapatkan suplai air bersih akibat ulah nakal oknum tersebut. Masalah lalu lintaspun juga menjadi sorotan. Dikatakan Abdullah, beberapa hotel tidak mempunyai ruang parkir. Ini menyebabkan kemacetan di sekitaran hotel tersebut. PHRI sendiri menyarankan kepada hotel-hotel tersebut untuk “menghibahkan” tanahnya agar menjadi lahan parkir, bukan kamar hotel.
Permasalahan bisnis hotel memang kompleks untuk dibicarakan. Terlepas dari ekonomi dan permasalahan yang tumbuh akibat bisnis ini, seharusnya orang-orang yang berkecimpung di dalamnya bisa memikirkan tidak hanya kepentingan pribadi atau kelompoknya semata, tapi juga masyarakat luas. Di akhir segmen Forum Bisnis, Abdullah yang mewakili PHRI menyampaikan kepada audience bahwa PHRI telah menyarankan kepada Walikota Solo agar lebih selektif dalam menerbitkan izin pendirian hotel. Dari Abdullah juga didapatkan informasi bahwa Walikota Solo ingin mendorong bisnis perhotelan ke arah utara (Mojosongo) supaya terjadi pemerataan industri.
Terkait untuk menarik minat wisatawan, di segmen akhir tersebut, Dicky dan Sita menyampaikan gagasan unik: menjadikan Solo sebagai kota narsis. Gagasan ini tercetus karena melihat fenomena sekarang yang mana banyak orang mengabadikan moment mereka di beberapa ikon kota. Ide ini nampaknya akan terwujud karena Sita mempunyai gagasan untuk membuat wallframe di beberapa ikon kota.
Menarik untuk disimak, karena jika ide ini terwujud, akan ada bisnis baru yang muncul: jual beli tongsis.