Sajian Bubur Samin Masjid Darussalam Jayengan, Dari Kebiasaan Jadi Tradisi

143

Soloevent.id – Untuk menyemarakan kehadiran bulan Ramadan 1444 H / 2023 M, Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta menggelar event khusus bertajuk Ramadan Light Festival. Acara ini dipusatkan di halaman Balai Kota Solo, Gladak, dan Pasar Gede. Oleh Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka, dijadikan sebagai program unggulan Ramadan.

Tak hanya hiburan, perlombaan Islami dan pasar takjil UMKM, gelaran tersebut diisi dengan pemberian beras sebanyak 1.500 kg kepada Masjid Darussalam di Kelurahan Jayengan. Selanjutnya oleh pengurus masjid dan panitia Ramadan setempat, beras ini dipakai untuk membuat bubur samin dan masyarakat bisa mendapatkan secara gratis.

Bahan utama dari bubur samin adalah beras yang dikasih sayuran, aneka bumbu, dan sayatan daging sapi. Setelah itu masih ditambah lagi dengan minyak samin, sehingga hasil olahannya memiliki aroma wangi dan berwarna kekuningan.

Selain memiliki cita rasa gurih, banyak yang meyakini masakan ini mengandung gizi tinggi. Sehingga tidak mengherankan apabila ada sebagian warga yang secara khusus ingin mendapatkan bubur samin untuk dijadikan asupan bagi anak balita mereka.

Sementara itu untuk proses pengolahannya sendiri, biasanya dimulai pagi hari hingga pukul 15.00 WIB. Setelah matang, sebagian langsung dibagi-bagikan kepada mereka yang telah antri. Kemudian untuk sebagian lainnya ditaruh dalam puluhan piring dan dijadikan sebagai menu buka puasa bagi jamaah masjid.

Sejarah Bubur Samin

Bubur samin merupakan kuliner khas Ramadan dan selama ini sering menjadi incaran masyarakat Solo dan sekitarnya. Namun menariknya, apa yang disajikan oleh Masjid Darussalam tersebut sebetulnya bukan asli masakan Solo, melainkan dari Banjarmasin. Selain itu hanya dibagikan pada saat Bulan Ramadan saja, menjelang buka puasa.

Pada puluhan tahun lalu, Kelurahan Jayengan sering menjadi pilihan utama bagi para perantau asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan untuk menetap di Solo. Di kelurahan ini mereka juga sering mengadakan pertemuan dan dari kegiatan ini tercetus gagasan mendirikan tempat ibadah atau langgar.

Dalam perkembangannya, langgar tersebut menjelma menjadi masjid yang kemudian dikasih nama Masjid Darussalam. Setelah itu pada sekitar 1980, tidak sedikit dari para perantau tersebut yang merasa rindu pada kampung halaman.

Perasaan ini kemudian diwujudkan dengan cara membuat masakan khas bubur samin dengan tujuan untuk menguatkan tali persaudaraan di antara mereka. Lama kelamaan kebiasaan ini berubah menjadi tradisi lain berupa pembaguan bubur samin bagi warga sekitar, terutama pada Bulan Ramadan.

Kemudian dalam perkembangan berikutnya, banyak warga dari kota lain yang turut merasa penasaran dengan tradisi tersebut. Mereka tidak segan berkunjung langsung ke Masjid Darussalam untuk melihat proses pengolahan sekaligus menikmati sajian lezat bubur samin.

Selanjutnya dari tradisi ini lahir suatu budaya rutin yang menjadi ciri khas dari Masjid Darussalam. Bukan itu saja, acara pembagian bubur samin tersebut juga hadir sebagai simbol kerukunan antara masyarakat perantau Banjarmasin dan warga lokal.