Malem Selikuran dan Maleman Sriwedari, Tradisi Unik Keraton Kasunanan

156

Soloevent.id – Beberapa hari belakangan ini kawasan Gladak, Balai Kota Surakarta dan Pasar Gede tampak meriah, penuh pernak-pernik hiasan khas Ramadan. Bahkan ada pasar takjil UMKM dan aneka kegiatan lain untuk menyemarakkan bulan paling mulia bagi umat Islam tersebut.

Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka juga telah menjadikan deretan event ini sebagai program unggulan Ramadan dan akan dilaksanakan secara rutin tiap tahun. Sehingga bukan tidak mungkin pada waktu-waktu mendatang masyarakat Solo akan memandang kegiatan tersebut sebagai suatu tradisi.

Jauh sebelumnya, di Kota Solo sebenarnya sudah ada tradisi semacam itu. Hanya saja penyelenggaranya bukan Pemkot Surakarta, tapi Keraton Kasunanan. Secara umum, ada dua event utama yang digelar oleh penerus dinasti Mataram Islam tersebut untuk menyambut Bulan Ramadan.

Sebagaimana dipahami bersama, ada malam kemuliaan dalam 10 hari terahir di Bulan Ramadan, terutama di antara malam-malam ganjil. Rentang waktu ini disebut sebagai Malam Lailatul Qadar dan jadi momen istimewa yang selalu dinanti oleh umat Islam.

Oleh Keraton Kasunanan Solo, kemuliaan ini diwujudkan dalam suatu tradisi menarik yang dinamakan Malem Selikuran. Dalam bahasa Jawa kata ‘selikur’ mempunyai arti ‘duapuluh satu’. Ini sesuai dengan awal jatuhnya Malam Lailatul Qadar, yaitu malam ke-21 Bulan Ramadan.

Dalam acara tersebut usai salat tarawih, dilangsungkan arak-arakan prajurit dan para para dalem dari Kamandungan atau halaman keraton. Mereka berjalan menuju Masjid Agung sambil memikul tumpeng dan lampu minyak. Selama kegiatan ini berlangsung mereka juga mengucap doa-doa pada Allah dan puji-pujian bagi Nabi Muhammad.

Sampai di Masjid Gede, tumpeng beserta makanan lainnya diletakkan di serambi dan didoakan oleh ulama masjid. Setelah itu dibagikan kepada masyarakat dan tamu yang hadir. Selanjutnya hingga akhir Bulan Ramadan, di sekitar area masjid ada keramaian berupa pasar malam.

Pindah ke Taman Sriwedari

Menurut penelurusan sejarah, budaya ini telah ada sejak zaman Kerajaam Demak dan diteruskan oleh raja-raja Mataram Islam. Namun dalam perkembangannya, oleh Raja Pakubuwono X tradisi ini sedikit dirubah.

Rute arak-arakan Malem Selikuran tersebut tidak menuju Masjid Agung lagi, namun diperpanjang sampai Taman Sriwedari. Raja yang memiliki kekuasan dari tahun 1893 hingga 1939 ini punya alasan khusus. Masjid Agung dan alun-alun sudah mempunyai acara sendiri yaitu perayaan Sekaten.

Sehingga agar lebih merata, perayaan Malam Lalilatul Qadar dipindahkan ke Taman Sriwedari. Pada masa tersebut taman ini memang menjadi pusat wisata paling terkenal di Solo. Sehingga makin banyak masyarakat yang tertarik dan berduyun-duyun datang untuk menyaksikan ritual keagamaan tersebut.

Berdasarkan perintah dari Pakubuwono X pula, ritual ini dilanjutkan dengan gelaran pasar malam dan acap disebut sebagai Maleman Sriwedari. Walau sudah tidak pernah digelar lagi sejak puluhan tahun lalu, ada sejumlah pihak yang berniat menghidupkan kembali tradisi tersebut. Tentu saja langkah ini pantas mendapat dukungan.