Dongeng Kampung Solo

1027
DONGENG-KAMPUNG-SOLO_

DONGENG-KAMPUNG-SOLO_

Kampung menjadi aset sentral dalam kebudayaan kota. Ibaratnya, kampung adalah motor penggerak kehidupan urban. Bermula dari kampung, nilai dan identitas perkotaan mulai terbentuk. Lebih dari itu, kampung hadir sebagai local genius (kearifan lokal) di tengah deru modernisasi.

Berkenaan dengan peran penting kampung, tim Kampungnesia – gabungan dari mahasiswa Sosiologi, Arsitektur, serta Perencanaan Wilayah dan Kota – menggelar acara bertajuk “ Dongeng Kampung Solo ”, Selasa (21/10/2014).

Bertempat di Teras Museum Radya Pustaka, acara tersebut menghadirkan tiga pembicara yang notabene adalah para pegiat kampung. Mereka adalah Suwardi (Kampung Sondakan), Dwi Wahyu Paryanto (Kampung Jagalan), dan Wiharto (Pasar Gede). Ketiganya menyampaikan materi tentang kampung, dalam sudut pandang budaya, sejarah, sosial, dan arsitektur.

Setiap tempat mempunyai sejarahnya sendiri. Suwardi menuturkan, berdirinya Sondakan tidak dapat dipisahkan dari Reksahandoko. Ia adalah seorang bekel (pamong desa, pemungut pajak) yang dipercayai oleh Sri Susuhunan Paku Buwono II. Berhubungan baik dengan raja, ia kemudian ditunjuk sebagai sesepuh kampung. Namanya akhirnya diabadikan sebagai nama kampung Sondakan. Sondakan sendiri merupakan kependekan dari “Rekso” dan “handaka”.

Sondakan juga berkaitan erat dengan pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI), K.H. Samanhudi. Sebagai penghargaan atas perjuangan sang putra daerah,  Samanhudi dijadikan identitas Sondakan. “Kami tidak mau mem-branding Sondakan sebagai Kampung Batik, karena sudah banyak yang memakai nama itu. Akhirnya kami memilih Samanhudi sebagai ikon,” jelas Suwardi. Samanhudi disematkan ke dalam tiga nama: jalan, museum, dan festival.

Sementara itu, Dwi Wahyu Paryanto menguraikan tentang segi arsitektur. Sebagai warga kampung, ia ingin berkontribusi terhadap wilayahnya. Maka 2013 lalu, ia mengajak para mahasiswa untuk membumi bersama warga kampung, dengan memperbaiki toilet umum. Tak hanya itu, ia juga membuat produk jemuran yang bisa beralihfungsi sebagai tempat duduk.

Sebagai wujud baktinya kepada kampung, pria berambut gondrong ini juga menginisiasi terbentuknya Festival Kali Sonto. “Penataan lingkungan harus diseimbangkan dengan penataan budaya. Bagaimana caranya agar ruang-ruang di kampung, seperti bantaran sungai, dapat dijadikan tempat pentas atau galeri outdoor,” ungkapnya.

Inisiator Kampungnesia, Akhmad Ramdhon, menuturkan bahwa dengan mengajak mahasiswanya hadir dalam “Dongeng Kampung Solo”, diharapkan dapat menggugah mereka agar lebih mengenal kampung. “Karena kota tanpa kampung itu tidak ada sesuatu yang bernilai,” terang dosen Sosiologi FISIP UNS itu.