Ellen, Seniman Asal Wales, Punya Cara Sendiri Hadapi Konflik

756
ELLEN, SENIMAN ASAL WALES, PUNYA CARA SENDIRI HADAPI KONFLIK

ELLEN, SENIMAN ASAL WALES, PUNYA CARA SENDIRI HADAPI KONFLIK

Soloevent.id – Ellen Jordan sedang resah terhadap kondisi dunia. Kerusakan bumi, tumbuhnya ketidaksetaraan antara si kaya dan si miskin, perselisihan antaragama dan negara, jadi potret kecil kekhawatiran seniman asal Wales itu. Untuk mengatasinya, Ellen memberikan solusi yakni perdamaian. Sebagai seorang seniman, Ellen menuangkan konsep perdamaian ke dalam sebuah pertunjukan tari dan karawitan.

Mandala Perdamaian judulnya. Sebagai penggambaran toleransi antarkultur, Ellen mengajak 20-an seniman muda asal Indonesia dan beberapa negara lain. Kolaborasi seniman lintas negara tersebut dilangsungkan di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, Selasa (5/4/2016).

Lewat Mandala Perdamaian, Ellen membawa penonton memasuki dunia baru penuh ketenangan. Di bawah sorot lampu temaram, mendengar dentingan halus musik karawitan yang berpadu dengan langgam-langgam Jawa seperti memberikan ketenangan batin.

Harmonisasi gamelan direspon empat penari dengan gerakan-gerakan energiknya. Apa yang ditarikan oleh Anna Thu Schmidt, Otniel Tasman, Hanna Yulianti, dan Imam Kristianto seperti menggambarkan kehidupan manusia di dunia. Manusia dititahkan untuk menjaga kedamaian. Namun, karena di dalam diri manusia terdapat nafsu, kadangkala manusia juga sering berkonflik dengan sesama.

Konflik serta bentuk-bentuk kekerasan lain bisa diredam lewat jalan perdamaian. Ellen punya cara unik unik untuk menyimbolkan perdamaian yaitu dengan teh. Di akhir pertunjukan, seluruh penampil memunguti guguran daun teh. Lalu mereka membagikannya kepada penonton.

“Saya menjadikan teh sebagai lambang kesatuan. Faktanya, setiap budaya selalu memiliki minuman teh atau kopi. Di setiap budaya, cara menikmati teh pasti berbeda-beda. Di pertunjukan ini, teh saya gunakan sebagai alat untuk merayakan keberagaman budaya,” tutur Ellen.

Ellen Jordan menyebut Mandala Perdamaian sebagai ritual artistik karena di dalamnya terdapat doa/mantra  yang dilafalkan dengan bahasa Jawa, Welsh, Hungarian, Polish, Meksiko, dan lain-lain sesuai bahasa ibu masing-masing penampil. Ia berharap penonton dapat menemukan ketenangan batin setelah menyaksikan pementasannya. “Kedamaian tersebut semoga bisa disampaikan kepada orang lain dan kemudian kedamaian akan menyebar dalam komunitas kita,” terang dia.