Sebongkah Kisah Inggit Garnasih, Istri Soekarno

1671
SEBONGKAH KISAH INGGIT GARNASIH, ISTRI SOEKARNO

SEBONGKAH KISAH INGGIT GARNASIH, ISTRI SOEKARNO

Perayaan Hari Teater Dunia 2015 di Solo berlangsung semarak. Acara yang dipusatkan di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) ini menampilkan beragam pementasan, seperti teater, pantomim, performing art, pembacaan puisi, dan masih banyak lagi. Para penampil tak hanya dari Kota Bengawan. Pegiat seni dari luar kota pun turut unjuk gigi dalam perhelatan ini.

Ida Y. Yusmana misalnya. Mewakili Komunitas Seniman Muda Tegal, ia membawakan sebuah lakon yang mengharu biru berjudul Inggit, Kamis (9/4/2015). Drama monolog yang dibawakan selama kurang lebih dua jam itu, Ida berperan sebagai Inggit Garnasih. Ya, tokoh itu merupakan satu dari beberapa sosok perempuan yang menghiasi kehidupan asmara presiden pertama Indonesia, Soekarno.

Pementasan yang diambil dari naskah karya Ahda Imran itu menceritakan tentang kesetiaan, keteguhan, dan idealisme seorang wanita dalam mengarungi bahtera rumah tangganya sebagai istri.

Diceritakan, kehidupan Inggit dan Kusno — sapaan Inggit kepada Soekarno — begitu kompleks. Inggit merupakan pribadi yang selalu di sisi Kusno saat senang maupun susah. Sebagai seorang istri tentu ia khawatir terhadap aktivitas politik suaminya saat itu. Namun, Inggit sadar apa yang belahan jiwanya lakukan pada masa itu merupakan bentuk perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme di Indonesia.

Pergerakan Soekarno itulah yang menyebabkan ia ditangkap dan dipenjara oleh Belanda. Hebatnya Inggit, dia selalu menemani sang suami. “Soekarno, ingat cita-citamu! Jangan menyerah hanya karena penjara! Aku istrimu, akan selalu mendampingimu,” ucap Ida di suatu dialog.

Bukanlah penjajah yang akhirnya memisahkan mereka. Ketertarikan Soekarno kepada perempuan lainlah yang memudarkan hubungan 20 tahun itu. Soekarno beralasan, ia ingin mempunyai seorang anak kandung — sebuah hal yang berat bagi Inggit karena ia telah divonis mandul.

Hal itu membuat munculnya sisi ketegasan dan idealis seorang wanita. Inggit tidak ingin ingin diduakan. “Harga diriku tidak bisa diinjak-injak. Harga diriku tidak bisa ditukar dengan istana. Ceraikan aku, atau tinggalkan Fatimah!” katanya. Namun, apa boleh buat? Kusno memilih opsi yang pertama. Walaupun memilih berpisah, perasaan Inggit terhadap Kusno masih sama. “Mencintai adalah juga menerima rasa sakit,” tuturnya.

Sutradara pementasan Inggit,  Erwindu Hascaryo, menuturkan memilih naskah ini agar masyarakat masyarakat mempunyai pandangan dari sisi lain tentang sosok Soekarno. “Kebanyakan masyarakat hanya tahu Soekarno adalah proklamator. Sejarah masa-masa Soekarno sebelum itu, masyarakat belum mengenal,” kata dia usai ditemui usai pentas.