Mengulik Puasa Ramadan di Era Kolonial

914

Soloevent.id – Seperti apa, ya, puasa Ramadan di Tanah Air pada zaman kolonial? Sabtu (11/5/2019), dosen pengajar Program Sejarah IAIN Surakarta, Martina Safitry, M.A coba membedahnya dalam acara Ngabuburit di RBK yang diselenggarakan di Rumah Budaya Kratonan.

Martina menerangkan bahwa semasa Ramadan, siswa yang belajar di sekolah yang didirikan pemerintah Belanda mendapat libur selama 39 hari untuk menjalankan ibadah puasa.

Belanda sebenarnya memberi kebebasan menjalankan ibadah puasa Ramadan, tapi terbatas, di mana ada larangan untuk mengadakan salat Tarawih berjamaah. Itu terjadi sebelum 1929.

Belanda melarangnya karena menilai hal itu dapat memicu tindakan makar. Izin berpuasa oleh pemerintah Belanda juga didasari pada antisipasi gerilya massa yang dilakukan masyarakat  Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Sampai akhirnya Belanda memperbolehkan melakukan salat Tarawih bersama, tetapi lokasinya ditentukan.



Saat Idul Fitri, perayaannya pertama kali digelar di Masjid Agung Bandung pada tahun 1926. Perayaan Lebaran kala itu dihadiri oleh komunitas pedagang Arab dan Bumiputera. Tahun 1939, pemerintah Belanda kembali mengeluarkan izin menggelar salat Idul Fitri berjamaah di kantor Kabupaten Bandung.

Mengenai penetapan waktu Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri, pemerintah Belanda tidak ikut campur dan menyerahkan semua kepada lembaga atau organisasi yang menaungi masyarakat Islam saat itu. Belanda hanya melakukan pengawasan saja.

“Dalam perayaan menyambut Ramadan, masyarakat era kolonial –  khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur – menggelar beragam acara yang masih kental dengan kultur Hindu Budha,” papar Martina

Acara Ngabuburit di RBK diadakan kelompok mahasiswa Program Sejarah  Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta selama bulan Ramadan. Pembahasan Ramadan di era kolonial adalah kegiatan pertama dari total 10 acara yang ada. Ngabuburit di RBK digelar tanggal 11,14,16,18,21,23,25,28,30 Mei dan 1 Juni 2019.