Kisah Babad Sala Lengkap Dengan Wawancara Sutradara

1042

KISAH-BABAD-SALA

“Kini zaman telah berubah, kebudayaan lokal mulai tergerus. Pentas ini merupakan wujud bakti kami terhadap kebudayaan lokal. Serta merupakan rasa cinta dan bangga kami terhadap negara Indonesia,” jelas MC tatkala membuka pergelaran ketoprak Babad Sala, yang dipentaskan pada Minggu, 10 Agustus 2014, bertempat di Gedung Wayang Orang Sriwedari. Menurut Muhammad Faisal selaku Pimpinan Produksi, Babad Sala merupakan pentas gabungan antara SMA N 1 Solo, Ketoprak Ngampung Balekambang, dan SMKI.

Jam menunjukkan pukul 20.30, terdengarlah vokal yang secara bersamaan meneriakkan “rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Tiji tibeh, mati siji mati kabeh. Tiji tibeh, mukti siji mukti kaber,”. Musik karawitan yang dipadukan dengan alat musik modern itu menjadi rancak. Sementara di panggung tampak adegan peperangan yang ditampilkan secara siluet, mengisahkan perebutan kembali Keraton Kartasura oleh Kanjeng Susuhunan Pakubuwana II beserta prajuritnya, setelah sebelumnya dikuasai oleh Raden Mas Garendhi yang melakukan pemberontakan. Ia memberontak karena tidak setuju atas sikap pemerintahan Kartasura yang bekerjasama dengan VOC.

Pada adegan dua, setting berubah menjadi kerajaan. Di sana tampak Sinuhun Pakubuwana II sedang mengadakan Pisowanan Agung. Setalah mendapat laporan bahwa Keraton Kartasura rusak parah, maka dia memerintahkan pejabat istana untuk mencari tempat yang akan digunakan membangun keraton baru. Keraton wajib pindah karena sudah tidak layak huni dan telah terjadi  pemberontakan. Kemudian sang raja memerintahkan Tumenggung Honggowongso untuk mencari tempat baru yang layak dibangun kerajaan.

Dalam pencariannya, sang tumenggung akhirnya menemukan sebuah daerah bernama Sala. Pemimpin desa itu, Ki Gedhe Sala menerima para utusan kerajaan tersebut. Setelah mengetahui maksud kedatangan pejabat keraton itu, ia tidak serta merta memutuskan karena harus berembug dengan warganya dahulu. Setelah berembug, ternyata tidak semua warga menerima desa mereka dijadikan istana.

Warga yang tidak setuju meminta ganti rugi dari pihak keraton. Sebagai pemimpin yang adil, Ki Gedhe Sala akhirnya menyampaikan tuntutan itu kepada Pangeran Mijil, yang merupakan penyambung lidah antara Ki Gedhe Sala dengan Pakubuwana II, yang juga bertindak sebagai punggawa istana. Dalam tuntutan yang memperjuangkan hak warganya, ia meminta pihak keraton menyediakan empat hal yaitu gong, sekar delima, daun lumbu, dan ndas ledhek.

Menurut sutradara Babad Sala, Dwi Mustanto, keempat hal itu merupakan simbol bahwa Sala harus dibeli. “Bahwa gong adalah suara paling nyaring di instrumen karawitan. Artinya instrumen ternyaring adalah suara tertinggi, itu adalah [simbol] pemimpin. Dan kata-kata  seorang pemimpin, menurut Ki Gedhe Sala, harus diiyakan oleh ratu,” ungkapnya.

Sementara sekar delima merupakan simbolisasi dari ringgit atau uang. Sedangkan ndas ledhek diartikan sebagai wayang, yang berarti bahwa warga Sala membutuhkan hiburan di tempat barunya kelak. Permintaan tersebut tidak bertepuk sebelah tangan. Keraton kemudian membangun istananya di daerah yang sebagian besar terdiri dara rawa-rawa yang ditumbuhi lumbu (bambu) itu.

Di babak empat, plot dan setting berubah total. Babak ini tidak lagi menceritakan Solo masa lalu. Pada babak ini Dwi Mustanto mencoba menangkap gambaran wong cilik yang disimbolkan dengan tukang pijat, tukang becak, dan seorang pengendara pit onthel. Lawakan-lawakan dari ketiga orang itu, cukup membuat penonton terpingkal-pingkal. Kondisi berubah ketika enam pemuda melakukan aksi tawuran. Walaupun tawuran tersebut dibawakan secara komedi, tapi ada maksud yang terkandung dalam adegan itu yakni menunjukkan bahwa masih ada sebagian orang yang berwatak keras.

Tiba-tiba datanglah seorang tumenggung keraton yang hendak melerai perkelahian tersebut. Namun sayang, perkataan tumenggung tidak digubris oleh para pelaku tawuran. “Lha nyatane kratone sampeyan mboten rukun og, piye arep nggugu sampeyan? Wis, rampungna masalah kratonmu sik!” hardik seorang pelaku. Sindiran keras tersebut memang dipilih Dwi Mustanto dalam mengkritisi kondisi keraton kini yang berbeda jauh dengan kondisi keraton pada masa lalu.

Di akhir pementasan, Nampak seorang anak kecil yang memakai seragam sekolah. Ia membacakan sebuah surat yang pada intinya berpesan untuk mengingat masa lalu, dan harus menikmati Solo pada masa kini seperti yang sedang kita jalani.

 

Foto: Dokumentasi Babad Sala