Bukan Sembarang Binatang, Kebo Bule Kyai Slamet Dianggap Bertuah

1938

Soloevent.id – Bagi masyarakat Solo dan sekitarnya, mungkin kebo bule keturunan Kyai Slamet bukan lagi sesuatu yang asing. Di hari-hari biasa, kerbau bule-kerbau bule ini dikandangkan di area Alun-Alun Selatan Keraton Kasunanan Surakarta.

Kawanan kebo bule tersebut sangat diperhatikan oleh Keraton Surakarta karena mereka bukan sembarang binatang. Bahkan, kerbau bule itu termasuk pusaka penting milik keraton dan dianggap bertuah.

Setiap pergantian Tahun Baru Islam 1 Muharram atau masyarakat Jawa sering menyebutnya dengan malam 1 Sura, kebo bule-kebo bule tersebut akan diikutkan dalam Kirab Pusaka Keraton Surakarta Hadiningrat. Kerbau albino tersebut berada di barisan paling depan atau sebagai cucuk lampah.

Kirab malam 1 Sura biasanya digelar tengah malam. Rombongan kirab tidak diperbolehkan berangkat bila kerbau bule belum mau beranjak dari kandangnya. Namun, jika sudah saatnya,  kawanan kerbau bule akan keluar dari kandangnya dan langsung menuju halaman keraton.

Sebelum berangkat, kerbau bule diberi makan umbi oleh abdi dalem keraton. Mereka juga dikalungi roncean melati. Beberapa jam sebelum dikirab, kebo bule biasanya dimandikan dulu dengan air jamasan khusus. Di malam 1 Sura, kebo-kebo bule itu diperlakukan istimewa.

Penjagaan petugas keamanan pun diperketat. Saat menunggu kirab berjalan dan ketika kirab sudah berjalan, petugas keamanan selalu mengingatkan penonton supaya tidak menyalakan lampu kilat saat memotret kerbau bule. Beberapa orang mengatakan, lampu kilat membikin kebo menjadi reaktif.

Selain itu, penonton di baris depan yang kebetulan memakai baju berwarna merah langsung diminta mundur. Pendapat tersebut konon didasari kerbau akan mengejar orang yang beratribut merah.

Kirab malam 1 Sura merupakan momen yang sangat dinanti masyarakat. Tak hanya orang Solo, banyak warga berdatangan dari pelosok hanya demi menonton kirab. Mereka meyakini akan mendapat berkah jika  menyaksikannya. Bahkan, menurut sebagian masyarakat, menyentuh dan mengambil kotoran kerbau bakal membawa berkah.

Kirab ini akan dimulai dari keraton lalu menuju Supit Urang-Jl- Pakoe Boewono-Jl. Jenderal Sudirman-Jl. Mayor Kusmanto-Jl. Kapten Mulyadi-Jl. Veteran-Jl. Yos Sudarso-Jl. Brigjend Slamet Riyadi-Jl. Pakoe Boewono dan finish di Keraton Surakarta.

Ngomong-omong soal kerbau bule, ada beberapa versi yang menyebutkan asal-muasal kerbau bule. Berikut sejarah kerbau bule dikutip dari keraton.perpusnas.id.

Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura. Konon kerbau albino itu merupakan hadiah dari Kyai Hasan Beshari di Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II.

Oleh keraton, kerbau ini diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet. Kerbau-kerbau tersebut bertugas menjaga dan mengawal pusaka Kyai Slamet, Nah, makanya masyarakat pun menamai kerbau bule itu dengan sebutan kebo Kyai Slamet.



Tahun 1725, Paku Buwono II mencari lokasi untuk keraton yang baru. Oleh raja, kerbau-kerbau kesayangannya itu turut dilepas. Mereka difungsikan sebagai patokan: di mana pun mereka berhenti, di situlah keraton akan berdiri.

Versi kedua dituturkan oleh Kepala Sasono Pustoko Keraton Surakarta, Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puger. Menurutnya, kirab pusaka dan kerbau adalah dua hal yang saling berkaitan. Dua hal itu berakar pada tradisi sebelum munculnya Kerajaan Mataram (Islam), pada prosesi ritual wilujengan nagari.

Pusaka dan kerbau merupakan simbol keselamatan. Pada awal masa Kerajaan Mataram, pusaka dan kerbau yang sama-sama dinamai Kyai Slamet, hanya dikeluarkan dalam kondisi genting, yakni saat terjadi pageblug (wabah penyakit) dan bencana alam. Pusaka dan kerbau tersebut diharapkan memberi kekuatan kepada masyarakat. Dengan ritual kirab, masyarakat percaya Tuhan akan memberi keselamatan dan kekuatan.